cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas,  www.segi3.com   cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas 
Cerita Sex Bonus Foto Bugil - Tiga Dara - Cenit  bersandar di dinding, gadis itu duduk sambil memeluk kedua lututnya.  Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan celananya sudah  terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan montok. Sementara  tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela rambut-rambut hitam  yang nampak baru dicukur.
Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirih…
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya….”
Aku  hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah,  beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh  nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan  merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuhnya  terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher,  pundak dan buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya  melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan  kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan.
Tanpa  kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah  dada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan  buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.
Dengan  rakus kukulum buah dada besar Cenit sepenuh mulutku. Ia mengerang  antara sakit dan enak. Nafasku pum semakin tersendat, hidungku beberapa  kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.
Puncak  dadanya basah oleh air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak  susah meraih puting susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali  kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun  dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.
Cenit  tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher  dan pinggang gadis itu. Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya  dan mengarahkan putingnya ke mulutku.
Aku  pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot  sampai terdengar berbunyi mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu  matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa  kecil. ‘Gigit sedikit, Kak.’ pintanya padaku.
Aku  menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.  ‘Aih….’ Jeritnya lirih sambil menggigit bibir. Barangkali ia tengah  merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan  tubuhnya melunglai menahan nikmat.
Kemudian  tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat  menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah aku  menyelusuri tubuh sintal Cenit.
Mulai  dari leher, terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul…  terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu  membuka pahanya sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam  pelukan erat, tanganku mencoba masuk… ehm.. bagian itu terasa hangat  dan basah. Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam  sembari menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan.  Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi  di’sana’.
Gadisku  menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti  menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia  mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh  oleh jemariku.
Dengan  penuh pengertian aku pun turun… dari leher… buah dada.. wajahku  terseret ke bawah, menikmati setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat.  Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari mulutnya.  Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan  sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.
“Teruskan,  kak… jangan hentikan..!” pintanya. “Puaskan aku….?” katanya lagi  tanpa rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia  inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami  bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan  aku menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas  perutnya yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh  Cenit memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak  indah. Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba  Cenit memegang kepalaku, meremas sedikit rambutku dan mendorong  kepalaku ke bawah. “Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja  dong….Aih..” Aku menurut…. Dulu aku bilang aku ingin merasakan dan  menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam keadaan  terangsang dia sangat menginginkanya.
Sesampai  di bagian itu… aku terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang  tepat di depan mataku. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di  celah-celahnya …
Bagian  itu, bibir kemaluan Cenit yang merah dan basah dipenuhi cecairan lendir  yang bening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka celah itu lebih lebar…  Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak  terkira.
Berkali-kali  ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih  tertahan gadis itu. Aku memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang  terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada  Cenit yang putih itu nampak naik turun dengan cepat. Kulihat lagi  kemaluan gadisku itu… semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan  dua telunjukku… cairahn kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes  sampai ke sela paha, persis seperti orang yang sedang ngiler.
Cairan  itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan  berkumpul dan akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak  titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu.
Terasa  ia merenggut rambutku… dan menekankan kepalaku ke arah vaginanya yang  sedang terangsang itu. Aku pun semakin bernafsu…. Dengan penuh  semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut kemaluan  Cenit…
“Ahh….  Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Cenit merintih, tubuhnya menegang,  cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke  arah mukaku, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir  yang sangat licin.
Aku  pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya.  Beberapa kali klentitnya tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan  memberi pengaruh yang hebat. Gadis itu melolong menahan nikmat… aku  terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan  sangat-sangat basah. Tak bisa kubayangkan kenikmatan apa yang  dirasakannya saat ini. barangkali sama nikmatnya dengan rangsangan yang  kuperoleh dari kemaluanku yang juga sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya  sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya  ingin aku melepaskan nikmat di saat itu juga. Tapi aku harus  menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis ini minta untuk segera di  tuntaskan.
Semakin  aku memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku  ke arahnya. Sesekali aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak  ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu.
Tiba-tiba  ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang  bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.  “Lagi, Kak” pintanya.
Aku  mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun kembali merintih-rintih menahan  rangsangan hebat itu di kemaluannya. Beberapa kali klentit itu kusentuh  dengan ujung gigi….
Tiba  saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan  tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, ia  mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba…
“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas. “Enak sekali…”
Pantatnya  mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya…  dan setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak  lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, aku  mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang  mengalami orgasme.
Tegang,  merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua  pahanya….. mengalir dengan banyaknya sampai ke mata kaki… Aku pun  tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri… mengasongkan  kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia  memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah  karena baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leherku. Memelukku  semakin kuat…
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku  pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di  titik kemaluanku. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku  ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan  kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri  tubuhku dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang kulakukan tadi,  mulutnya menciumi perutku dan terus turun… sesampai di bagian itu ia  memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia  menengadah.. memandangku dengan senyuman nakal…. “Besar sekali  punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan  mulai meremas pangkalnya. Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai  mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah,  Kak! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku  rasakan, kamu milikku, tidak boleh untuk orang lain….” Aku mengangguk  sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau  melakukan apa saja.
Perlahan  ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian  kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang.  Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”
Kemudian  ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan  meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin  menegang menahan nikmat.. keras dan enak.
Gadis  itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan  apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku  jemarinya terus juga digesekkannya.
Akhirny  aku pun tak tahan lagi… aku merenggut rambut di kepalanya, tubuhku  pun menegang. Aku mendorong pantatku ke depan, pahaku mengejang menahan  sesuatu yang bakal kukeluarkan.
“Cenit…”  kataku sambil mencengkram rambutnya. Ia menatapku, wajahnya tepat di  ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum  kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka,  sambil setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku  meledak dalam genggaman tangan Cenit, menyemburkan air manikyang sangat  banyak, mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan  kena ke rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air  mani yang mendarat di wajahnya…
“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Cenit  bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya  nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju,  mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil  tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan,  memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku  mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang  matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu,  Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri.
Ketika  angin berdesir melalui kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah  mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan  pakaian, duduk mengobrol di ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost  kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda,  seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba  gadis itu berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil  tersenyum kecil. Aku tak mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut  matanya ke arah lantai. Ha ha ha… hampir lupa, cairan itu masih  berserak di lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan kembali dengan  secarik kain. Perlahan dia lap lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini  punyaku…” katanya sambil menunjuk setitik cairan. “Dan ini punyamu,  Kak!” hehe aku tersenyum. “Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku  sambil mengambil sebatang rokok.
Seraya bangkit dan tertawa… “Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya  dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku  penuh kasih dan sayang. “lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin  lebih menikmatinya..” bisik gadis itu, “Aku ikhlas demi Kakak…”  bisiknya lagi di telingaku. Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku  pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam  belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang  tamu rumah kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di atas  dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari tadi  punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.
Berkali-kali  gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa  sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku  juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak memerlukan  foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan  mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan, kepuasan di malam yang  basah oleh rintik hujan ini.
Jam  delapan malam aku ada janji dengan Cenit kekasihku untuk bertemu di  rumah kost khusus putri ini. Padahal malam ini bukan malam minggu  seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms aku minta ketemuan, ada yang  penting katanya. Aku paham yang penting itu apa.
Yang  aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu, ternyata dia  tidak ada. Liani teman sekost nya yang menyambutku. Dia suruh aku masuk  dan ketika kutanyakan kemana Cenit, dia bilang sedang keluar sebentar,  ada perlu dan dia pergi dengan Rinay kawan sekampungnya. Dia bilang,  kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama kok. Liani, gadis lain  desa yang bertubuh tinggi semampai berkulit putih dan berambut panjang  itu menyuruhku duduk.
Tak  lama dia pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja  seraya mengambil sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu  dari belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan montok.  Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut  tanpa lengan. Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang  terbiasa bekerja cukup keras.
Tak  terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani  yang gemulai menuju ke ruang belakang yang agak gelap itu. Pantatnya  lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis tampak putih mulus  dengan tumitnya yang kemerahan. Kalau tidak ingat Cenit kekasihku,  mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia sudah punya  pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki yang katanya  jadi pacarnya itu.
Tak  lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan segelas  air putih. “Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil  setengah embungkuk meletakkan gelas itu di meja di hadapanku.
Tanpa  sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua  bulatan putih yang mau tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya  sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak padat dan  berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
Liani  mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum.  “Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?”  tanyanya sambil membenahi rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari  sudut matanya.
Gadis  yang satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti  yang lain memanggilku’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan  lagak lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain saja.
Gadis  itu duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di  perutnya. Tak ada canggung sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya  dan membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke batas paha.  Aku menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami  berdua sementara Cenit dan Rinay entah ke mana….
“Masih  lama mereka kembali, Liani?” tanyaku asal saja sambil meraih gelas  minumku. Gadis itu menatapku lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada  dalam benaknya malam ini. “Entah.” Katanya sambil menggeliat,  merentangkan tangannya, kedua pangkal lengannya terangkat ke atas  menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin  dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. Katanya ada  perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di depanku. Kemudian ia  menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis ini  agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang aku  cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen ya… Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orang…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Hmm… tahu dong. Nggak sabar pengen… ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen … ‘itu’ ya… ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu … kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono. Gadis itu
merapikan  posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi sambil terus  menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan dari tubuhnya  itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun tidurnya yang  berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna hitam.
“Ngeliatin  apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali kutang yang agak melorot di  bahunya. “Nggak.” Jawabku sekenanya. Ku lihat ia menatapku tajam. Aku  balas menatap. Wajahnya tampak memerah. Aku menahan nafas. Apa rasanya  gadis ini? apa bedanya dengan Cenit kekasihku?
Pikiran-pikiran  itu berkelebat cepat begitu saja. Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak  ingat lagi dengan Cenit, dengan Rinay temannya yang barangkali akan  pulang. Aku pun bangkit, meraih tangan gadis itu. Liani diam saja, tapi  dia tersenyum sambil tertawa sedikit.
“Nggak  ada waktu, Kak…” katanya pelan tapi membalas remasan tanganku.  Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia membalas. Matanya menatapku seolah  mengatakan, kalau ingin melakukannya lakukanlah sekarang juga mumpung  Cenit dan Rinay belum pulang. Dan itu tidak masalah apakah mereka akan  tahu atau tidak, aku pandai menjaga rahasia.
Bisikan-bisikan  itu mengiang di telingaku semakin membuat gairahku bangkit. Apalagi  jika kulihat tubuh Liani yang montok dan dadanya yang naik turun menahan  nafas yang mulai terengah.
Semakin  lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa tubuh  gadis itu memanas. Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang tertahan.  Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang disuguhkan gadis  ini, meski bukan kekasihku, tapi… perselingkuhan selalu terasa nikmat.
Dia  memang beberapa tahun lebih tua dari gadisku, cenderung lebih dewasa,  tapi tak kusangka dia menyimpan kehangatan dan hasrat memadu cinta yang  begitu terpendam dan panasnya memancar di malam ini.
“Kak…  di dipan itu aja, yuk.” Ajaknya. Senyumannya dari wajahnya yang memerah  kelihatan agak genit. Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur  tipis jadilah. Yang penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka,  seperti orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah  dipan. Di pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti  menurunkan gaun tidurnya.
Aku  hanya bisa memandang mengagumi tubuhnya yang putih mulus dan penuh  padat berisi itu. Sementara menurunkan celana dalamnya ia memandangku  sembari menatap ke arah bawah. Oh, aku belum membuka celana panjangku,  terlalu mengagumi kemolekannya….
Tak  lama kemudian kami sudah berpelukan hampir tanpa busana. Dia berada di  bawah dalam posisi tradisional. Siap dan menanti untuk dimasuki oleh  lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau  Cenit memerlukan fore play yang cukup lama sebelum terbangkitkan, dia  barangkali tidak memerlukan itu. Atau… “Kalau malam begini… aku  selalu membayangkan bersamamu, Bang. Bisiknya di telinga, kedua tangan  melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat dipipiku.
“Benarkah?”  jawabku sambil mencium pipi hangat itu. Liani mengangguk. “Kadang  bayanganmu begitui jelas seolah merasuki tubuhku…. Kalau begitu aku  suka… emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“Iya…  coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan pantatnya,  menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku. Ya, terasa hangat  dan basan…
“Sebelum  kamu datang, aku sudah membayangkan dirimu.. emhhmmm… tanpa sadar  ‘dia’ pun … sudah basah… Aku mencium telinga Liani, dia seperti  merinding., tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“Kadang…” bisiknya lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanaku… sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya,  aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku  menyelusupkan jemariku ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya aku  memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis  pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang  selama ini dia pendam…
“Masukkan  punyamu, Bang!” pintanya … “Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku  menahan rasa terhadapmu… jangan sia-siakan malam ini… walau  sebentar, aku akan puas….”
Gadis  itu menggelinjang sekali lagi, membetulkan posisi berbaringnya dan  membuka pahanya sedikit lebih lebar agar mudah aku menggelosorkan  kemaluanku ke liang senggamanya yang hangat itu.
Terasa  meluncur dengan lancar memasuki kemaluan gadis itu. Terus masuk dan  membenam sambil ke celah yang paling dalam. Gadis itu mengetatkan  pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da ke kanan.
Tubuhnya  terasa semakin memanas. Pelukannya begitu erat dan buah dadanya yang  menempel menekan ke dadaku. Dia sudah begitu bernafsu, nafsu yang di  pendam lama dan ingin di lepaskan dalam pelukanku malam ini juga.
Terus  terang di menit-menit penuh cinta itu aku tidak ingat lagi dengan  Cenit. Gadis ini butuh dipuaskan. Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa  lagi di tarik surut ke dalam. Segala rem sudah di lepas dan kami pun  melayang tanpa kendali menikmati semuanya malam ini….
Kurasa  hujan di luar semakin deras. Titik air yang berjuta-juta itu seolah  berlomba terjun ke bumi menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya.  Tapi gemuruh itu tak sedahsyat gemuruh nafsu kami berdua, aku dan Liani  yang tengah menikmati cinta.
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
Entah  sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk liang senggamanya.  Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan memelukku dengan erat  dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia terengah dan menggelinjang  menggeram penuh nikmat.
“Hhhhhh…  ehhhhhhh..hhhhhh….” erangnya setiap kumainkan dan kutekan pantatku ke  kemaluannya. Luar biasa, setiap tekanan ke bawah di balasnya dengan  tekanan ke atas.
Kurasa  sudah sepuluh menit aku mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang  kemaluannya terasa semakin rapat dan sangat licin, mencengkram kuat  batang kemaluanku yagn menegang.
Aku  kendurkan sedikit gerakanku. Mengalihkan perhatian ke tubuh bagian  atas. Liani mengerti, ia meregangkan tubuhnya menarik kepalanya ke  belakang, membiarkan buah dada besar yang putih berkeringat itu  meenyeruak dari pelukanku. Buah dada gadis desa yang besar dan kenyal,  tidak seperti payudara anak-anak kota yang besar tapi loyo….
Dua  gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan mulutku. Ku lahap dan  kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting susunya yang merah itu ku kulum dan  kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahan….
“Ohhh..  geli, Bang!” aku terus mengulum…. Berganti ke kiri dan ke kanan,  kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani dengan gemas.  Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku  udah gak tahan lagi… Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas  dan berkeringat, tubuhku juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk  karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil  bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah  puas dengan buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis itu.  Kurasa dia mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian ia  menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, BAng.” pintanya.
Aku  juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling  berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya  yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang  kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap senti dari  liang kemaluan Liani. Malam ini sunguh hanya milik kami berdua.  Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara Liani  melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepit… lalu menahan.  Gepit tahan gepit tahan…. Oh tak terlukiskan enaknya bercinta dengan  gadis ini.
Gesekan  itu semakin intens kami lakukan. Sampai-sampai kami tak sadar kalau  hujan sudah berhenti. Malam di luar terasa hening…. Tapi di atas dipan  yang berbunyi kriak-kriuk ini dua tubuh saling memompa berpacu mengejar  waktu. Takut kalau Cenit dan Rinay keburu pulang.
Aku  pun mempercepat ayunanku… sehingga di malam yang menjadi sunyi ini  terdengar jelas suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan Liani.  Beradu rsa dalam limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. Crek…Crekkk.. Crrek….
Kejantananku  naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan gadis itu.  Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua. Sesekali kutekan  akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan itu, menggeolkan  pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh pangkal atas  kemaluanku yang keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku  menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan. Mungkin  dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai tuntas….  PenggaRinaynya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram dan dia  benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,”  lolong gadis itu melepas nikmat. Seluruh liang senggamanya  berkedut-kedut dan sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan  menegang menahan rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
“Eughhh…hhhhh…  euuughhhhh….. ahhhhh… ” rintihnya sambil menyurupkan wajahnya ke  leherku, lehernya nafasnya menderu, air liur berceceran dari bibirnya  yang merah.
Saat  itulah aku pun bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di  kemaluanku. Tapi sesuatu menyebabkan aku berhenti …Masih dalam keadaan  bersetubuh dengan Liani… ada sekelebat bayangan melintas. Aku  memandang dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti  diam terpaku. Aku pun terkejut … bayangan siapa itu?
Perlahan  kulihat wajah Liani yang matanya masih setengah terpejam. Kemudian  matanya perlahan terbuka… Dia pun melihat bayangan itu dan menatap  langsung ke ruang tengah. Samar-samar di bola matanya yang hitam itu  kulihat dua sosok berdiri menatap ke arah kami.
Itu  bayangan Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah beberapa menit tadi mereka  berdiri di sana, menatap kami yang sedang asyik memagut cinta. Apakah  mereka tadi mendengar juga.. bunyi crek…crekk.crekk.. alat kelamin  kami yang sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal  itu.
Anehnya,  meski pun Liani sudah tahu kehadiran mereka, dia diam saja. Tidak  memberi tanda bahwa kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan seolah  membiarkan mereka menonton kami yang sedang beradegan mesra di atas  ranjang.
Terdengar  bunyi deheman kecil, dehem khas suara perempuan. Seolah memaklumi kami  yang masih dalam posisi senggama ini. hmmm… aku tahu itu suara Cenit,  aku bisa membedakannya.
Sedetik  dua detik aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, kemudian Liani  melakukan sersuatu yang tidak kuduga. Dia seperti melambaikan tangan  dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’ kostnya itu masuk ke  kamar…
“Teruskanlah,  Bang. Nggak apa-apa, kok….” Bisiknya di telingaku. “Ngapain malu..  kita kan sedang enak, kamu enak aku enak…. Mereka juga pasti  maklum….”
Oh,  ya? Bercinta dengan orang yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka  pula? Apa pula ini?Exibit kah ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan  sejauh itu. Kalau bagi Liani tidak apa-apa, dan Cenit serta Rinay pun  justru menikmati pemandangan ini…. kuteruskan saja.
Perlahan  dua gadis itu berlalu, seperti tak terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil  Rinay yang terdengar. Aku memandangi mereka yang pergi menjauh,  tiba-tiba Cenit menoleh ke belakang. Dia menatap mataku langsung, di  bibirnya tersungging senyuman yang aneh … di situasi seperti ini…  senyum yang tampak nakal.
Aku  tak tahu apa akan terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan  Cenit? Bagaimana pula aku akan menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh  keenakan ini? Tak bisa lagi aku berlagak seperti seorang lelaki yang  setia hanya pada satu perempuan. Tapi tampaknya Cenit pun tak keberatan  jika aku mengencani kakak kostnya Liani.
Ah.  Dunia ini memang aneh… di tempat yang tampaknya biasa-biasa saja  ternyata tersimpan bakat-bakat cinta yang terpendam yang menanti untuk  dikeluarkan dan dinikmati setiap lelaki semacam aku. Aku tak tahu harus  bergembira atau… entahlah!
Aku  meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke puncak  syahwatnya… kini giliran aku. Perlahan-lahan aku mulai memompa lagi  … kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang basah itu. Bunyi  crek.. crek.. crek.. creeeek… terdengar ke segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara itu… tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin  aja, Bang….. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik Liani seolah  hendak menghapus keraguanku. Maka aku pun meneruskan lagi, kali ini  dengan irama yang lebih cepat dan… tak lama kemudian  creett…cretttt… sambil menekan aku keluarkan air maniku di dalam  kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa  menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani  mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia  merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas  telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya  membetulkan tali beha dan menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalam…. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku  hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari  hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok.  Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana  yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang  berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang  seksi. Aku menelan ludah… pasti dia bakal marah karena kelakuan kami  tadi.
Dia  hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tampak tanda-tanda  emarahan di sana. sejenak dia hanya diam.. kemudian tiba-tiba dia  bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan  tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia tidak marah,  bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya bergelora ingin  dipuaskan juga.
“Cenit…  maafkan.. aku telah…” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan  bernafsu dia mencari bibirku dan menciuminya dengan garang. Oh,…  gelagapan aku dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah  terangsang…. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu  dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin berkelindan  seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk  dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut  itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang selama  beberapa saat.
Tanpa  banyak berkata-kata dia menurunkan gaunnya ke bawah, menampakkan dua  gumpal buah dada yang tidak memakai beha. Putting susunya meruncing dan  tegang.
“Aku  terangsang sekali melihat kalian berdua tadi…. ” katanya terengah  sambil mengasongkan kedua susunya ke arahku. Aku pun menyambut, tangan  kiriku meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba  gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa  mematikan puntung rokok yang ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan  kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan  kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit  mendesah keenakan. Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan  rambutku. Masih dalam posisi duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya  yang sudah setengah terbuka…. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga  gundukan vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan  bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya. Di tak  pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalir…. Bahkan dia  menyuruhku untuk memegangnya… jemariku menyelusup ke liang senggama  Cenit, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh  klentitnya yang merah dengan ujung jemariku. “Akhh….” Cenit melolong  tertahan. “Geli, Kak!” desahnya tersentak. Kemudian sembari memeluk  leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan tempat aku dan  Liani tadi bercinta.
Tak  banyak cingcong kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu.  Di sana dia kubaringkan. Tapi ketika aku hendak membuka celana,  tiba-tiba ia mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku heran, apa  yang akan dia perbuat.
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
“Bukalah  celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari menarik resleting celana  panjangku. Setela memelorotkan celana dalamku, dengan sangat bernafsu ia  memegangi pangkal kemaluanku yang kembali menegang.
“Besar dan nikmat….” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang giliranku…” katanya agak keras.
Ia  turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke arah  dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku berbaring,  Cenit pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas. Perlahan  dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan,  Kak.” Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang kelaminku itu dan  memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian dengan agak kasar dia  menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku masuk lebih dalam ke  tubuhnya.
“Ehhhhh….  Hhhhh” desahnya kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu  ibunya. Dalam posisi di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan  cepat… oh… batang kemaluanku di cengkram dan di gesek-gesek seperti  itu. Geli rasanya.
Posisi  di bawah jarang aku lakukan…. Tapi kali ini aku menerima saja, karena  tadi sudah lumayan capek meladeni Liani. Kali ini Cenit yang giat  menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya punyaku masuk lebih dalam.
Sembari  memelukku erat, ia terus mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek  crek crek terdengar lagi… kali ini bahkan di tingkahi oleh  jeritan-jeritan kecil yang keluar dari mulut kekasihku.
Aku  terus berbaring sembari meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh  itu. Cairan vagina terasa terus merembes dari kemaluan Cenit. Dia sudah  sangat terangsang. Liang kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia  menekan dan menahan. Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku  dengan vaginanya. Terang saja aku pun semakin keenakan.
Diam  beberapa saat menahan tekanan, dia pun mengendurkan dan memulai lagi  gerakan naik turunnya. Aku terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang  kenyal itu menekan ke arah dadaku, hampir membuatku sesak nafas. Tapi  aku pasrah.. lha wong enak rasanya.
Selama  sepuluh menit Cenit bergerak naik turun, nggak cape-cape kelihatannya.  Tubuhnya semakin basah oleh keringat, bahkan wajahnya sudah dipenuhi  keringat sebesar-besar biji jagung. Sebagian mengalir ke ujung hidung  dan menitik menimpa wajahku. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang  tergerai..
Aku  mencoba memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan keringat di  wajahku. Pada saat itulah kembali aku terkesiap. Di ujung ruangan, di  pintu kamar Cenit, tegak sesosok tubuh perempuan menatap kami dengan  matanya yang bulat.
Mata  besar milik Rinay, teman sekost Cenit. Dia menatap kami tanpa berkedip.  Tangan kanannya tertangkup di dada. Sementara yang kiri tampak  meremas-remas ujung gaun tidurnya yang di atas lutut.
Ketika  kami saling memandang… dalam posisi Cenit masih di atas dan asyik  dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay mengangkat ujung  gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha gadisnya yang  padat…
Entah  sadar entah tidak gaun itu sudah sedemikian terangkat, sehingga aku  bisa melihat celana dalam yang tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir  celana dalam itu… menampakkan segumpal tumpukan daging berbulu dengan  celah merah di tengahnya.
Ujung  jemari menyentuh bagian tengah celah itu. Menekannya dan  memutar-mutarnya sedikit. Ya ampun… kemudian dia menatapku.. dengan  mata setengah terpejam.
Saat  itulah Cenit menengadah…. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku,  memelukku kuat dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat  sampai seolah kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak..  enak sekali.. ahh” terasa kemaluan Cenit berdenyut hebat, tubuhnya  bergetar tak kuasa menahan nikmat… nafasnya sangat memburu… dan..
Dia  pun lunglai dalam pelukanku…. Sementara air mani gadis itu mengalir  tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian perutku..  aku peluk gadis itu di punggungnya… membiarkan ia mengendurkan syaraf  setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak orgasmenya.
***
Sampai  beberapa menit kami masih berpelukan, kejantananku yang masih tegang  itu masih berada di dalam ’sangkar’-nya. Cenit diam tak bergerak dalam  pelukanku, sepertinya dia lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam  tubuhnya.
Perlahan  gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak reda…  perlahan dia bangkit dan melepas persetubuhan kami. Lambat ia mengangkat  pantatnya ke atas. Perlahan alat kelaminku itu keluar dari vagina  Cenit. Ketika sudah keluar seluruhnya…. Cairan vagina yang kental  nampak melumuri batang kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya akan  keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah akan di  lepas..
Clep..crrrllek.  Cenit tersenyum mendengar suara itu. Entah suara lipatan kemaluannya  atau karena lendir yang begitu banyak melumuri batang kemaluanku.
Ia  pergi ke tengah ruangan dan memakai gaunnya kembali, rona wajahnya  menampakkan kepuasan yang tiada terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti  baru sudah pipis, ia memebenahi rambutnya yang kusut masai. Dan  berjalan ke belakang rumah, meninggalkanku yang hendak mengenakan celana  dalam ku.
Belum  sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit sudah kembali. Membawa  sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya. “Pakai ini aja, Kak!”  katanya seraya mengambil celana panjang dan kolorku, melipatnya dan  merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali ke belakang.
Tak  lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas minuman, kalau tadi  Liani membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit menyuguhiku dengan  teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa kehausan, bayangkan saja  melayani dua wanita secara bergilir tanpa istarahat sama sekali. Capek  donk!
Ketika  aku meminumnya, alis mataku terangkat, minuman apa ini? Rasanya kok  pahit banget? Sebelum sempat bertanya Cenit berkata perlahan, “Itu sari  dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku  tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu pasti  bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir. Gadis  itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semaleman… besok kamu  kan nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah  jam kemudian kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih terbayang-bayang  permainan kami berdua barusan. Tak disangka begitu bernafsunya Cenit,  sampai-sampai kuat main di atas hampir setengah jam lamanya, sementara  aku anteng aja di bawah.
Tiba-tiba  Cenit bangkit…”Kak,” katanya, “Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan  saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya yang agak  amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku  pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu  kamarnya aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain  gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur  pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak  putih dan mulus.
Kamar  berikutnya adalah kamar Rinay, hmmm… jantungku berdegup agak kencang.  Apa yang dilakukannya tadi ketika aku dan Cenit sedang menikmati seks?  Entahlah, aku tak tahu. Tapi aku pengen tahu sedang apa dia sekarang?
Perlahan  kusingkapkan juga tirai pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih  tampak rapi, bantal tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak  ada di biliknya? Sedikit heran aku terus melangkah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.” Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnya…
Oh  di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit,  sementara cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin.  Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan  tangannya.
Dipan  ukuran single itu lumayan sempit, apalagi sekarang sudah ada Rinay yang  tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku, ditatapnya aku dengan tajam.  Kemudian perlahan dia mengalihkan pandangannya ke tubuh temannya yang  masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnya…. Aku ikhlas aja, yang penting…. Dia bisa juga ikut merasakan ….”
Aku  melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan  sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami  lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadi… kami  bertiga bersahabat, resminya kamu memang milik aku… tapi.. berbagi  antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok, selama  tidak dengan yang lain selain mereka.”
Dalam  hati aku cuma bisa mengangkat bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan  temannya, dia tidak marah apalagi jadi membenci aku, lagi pula kalau  dengan begitu dia jadi terangsang dan menikmati juga, apa salahnya.
Aku  berpikir cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku  menjadi rajanya sementara menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja  sih. Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit  sawo terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan  singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup baru,  dia memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah tahun.  Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang dipenuhi  poster Cenit sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam ini.
Mula-mula  Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian Cenit yang memintaku untuk  memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis paling pendiam yang jarang  ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan ku pula… hehehe.. dasar  gede milik, yeuh
Semilir  halus wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka,  perlahan Rinay masuk ke kamar itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia  langsung duduk di dipan itu, “Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak  mengerti. Aku tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan  sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua  bola mata gadis itu membulat… menatapku seolah tak percaya. Terus  terang saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu dibiarkannya  tumbuh sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’ tapi tak  mengurangi kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di wajahnya.
Aku  menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa berat karena ia seperti  menolak, tapi kemudian malah dia yang merangsek dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu juga….”
“Kamu  bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku. Aku  mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya  terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih  erat.
Ia  membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya kulumat… beberapa kali ia  mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku mulai merengkuhnya.  Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku tubuh gadis  itu. Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap gumpalan dan tonjolan  dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.
Aku  membaringkan tubuhnya sementara kedua tangannya terus melingkar di  leherku. Nafasnya terdengar agak memburu, gadis ini sudah mulai  terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata belum  cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya  gairahnya lebih menggelora….
Entah  berapa lama kami saling mencium saling menyusup dan berkelindan, aku  pulang suka buah dadanya. Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi  putting susunya sangat kecil, hanya sebesar biji kacang hijau. Tampak  sekali putting itu sudah mengeras.
Ketika  kuremas-remas buah dadanya, wajah gadis itu menengadah, matanya  terpejam rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan  bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas, semakin intens juga  dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental  sudah mulai keluar.
Perlahan  aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak  kutekan agar menyentuh bagian klentitnya. Tuibuhnya menggelinjang karena  geli.
Perlahan  tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan  mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay  sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun  memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti  menembus lipatan daging hangat yang basah oleh lendir.
Creep….  Masuklah aku ke tubuh Rinay. Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan  nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat  terangsang dengan gadis ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya,  tapi… dia melakukannya seperti baru untuk pertama.
Sepuluh  menit pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan  rutin. Sementara Rinay pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan  wajahnya di leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya  semakin panas. Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya  semakin membanjir.
Kota  kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, apalagi rumah kost  itu tidak berAC, tubuhku pun kembali berkeringat. Tapi kami tak peduli,  kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami  masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan  penisku secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu  memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.
‘Crekecrekecrek…’.  Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Rinay dengan  kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku  menekan… Rinay membalas dengan mengempot ke atas. Menggerakkan  pinggulnya berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan  lagi pantatku beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam….
“Ahhh…,”  gadis itu mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke  atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan  kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
Beberapa  kali kami melakukan itu, aku pun jadi tak tahan. Tapi dia belum  mencapai puncak. Aku akan membuat dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku  pun semakin aktif mengocok dan menekan memek Rinay. Tulang kemaluan  kami beradu, bibir kemaluanya yang tebal menahan tekanan itu dengan  nafsu, terasa hangat dan sangat basah karena lendir mani Rinay sudah  melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat.. “Ooohhhhh….”
Aku  membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan  tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring  dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes  dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, Kak…eigh oh…!”
Berbarengan  dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring  dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis itu. Sementara  liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa  menahan nikmat yang luar biasa.
Kami  masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam  dalam pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa  menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan  gadis bangkit itu duduk dari posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar  di wajahnya yang cantik. Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah  dan bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari  sela kemaluannya.
“Enak,  Rinay?” gadis itu mengangguk. Kemudian ia mengusap keringat yang  menitik di dadaku. “Dadamu penuh dengan peluh, Kak. Sini kuusap,”  katanya sambil mengelus lembut dadaku yang memang penuh dengan keringat.
Beberapa  saat lamanya kami kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit  itu. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak,  menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia  ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh  tertidur, tak menyadari air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku  pun segera terbang ke alam mimpi.
Entah  jam berapa kami terbangun. Ketika itu aku dan Rinay masih berpelukan,  sementara di luar terdengar suara-suara seperti sedang bernyanyi. Oh,  ternyata hari sudah siang. Itu adalah suara Cenit yang sedang bernyanyi  kecil, sementara di kejauhan terdengar suara orang sedang mandi,  barangkali Liani sedang membersihkan tubuhnya.
Rinay  pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah dadanya yang kenyal  itu menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah terdengar Cenit  sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari bibirnya terdengar  nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba  terdengar suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan  masuklah Cenit ke dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya  berselimut kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku  pura-pura tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu terkikik…  tapi dia juga pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit berlagak marah dan  menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku  menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang setelah  beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah  menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh,  jauh lebih besar dari gagang sapu ini… pantesan enak sekali.”  Guraunya sambil tergelak sendiri. “Ya udah, kalau kamu pengen lagi,  Rinay. Tuh mumpung lagi berdiri…”
Hampir  tak kuat aku menahan tawa dengan canda Cenit, tapi tampaknya Rinay  menanggapinya dengan serius, dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari  atas dan mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa menempel di batang  kemaluanku.
“Tuuh,  kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay. Enak kok!” sergah Cenit  sambil memegangi pinggang gadis itu, menolongnya mengangkat panta, aku  pun memegang pangkal kemaluanku, menghadapkannya ke memek Rinay yang  hangat.
“Udah  pas belum?” tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan  pantatnya, maka…. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek  Rinay. “Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasa…”  bisik Cenit agak keras.
Seperti  tak peduli kehadiran Cenit di kamar ini, kami mengulangi permainan  semalam, tapi kali ini Posisi Rinay ada di atas. Kusuruh gadis itu  menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan mendorong tubuhnya dengan meletakkan  telapak tangannya di dadaku.
Sekarang  posisinya berubah, aku berbaring sementara Rinay duduk mengangkang di  atasku. Alat kelamin kami telah menyatu, ketika ia sudah duduk dengan  benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum kemaluanku sampai ke  pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali mengalir  membasahi jembut-jembut halusnya.
Kami  saling pandang sementara masih bersatu, bibir Rinay tersenyum, beberapa  kali ia menyibakkan rambutnya yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun,  gerakanya seperti orang sedang naik kuda. Naik turun berirama.
Semenit  aku lupa dengan kehadiran Cenit di sana. ternyata ia berdiri di  belakang Rinay, memperhatikan kami yang sedang bercinta dengan gaya  seperti itu. Gadis itu menyeringai lebar menampakkan sederetan giginya  yang putih bersih.
Kemudian  tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha putih dengan buah dada  besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu, melemparkannya ke sudut  kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam sampai akhirnya bugil  sama sekali.
Ia  pun menyerbu ke arahku, membenamkan wajahku di susunya yang besar dan  kenyal, meremas-remas kepalaku dengan jemarinya. Sementara Rinay terus  asyik mengayun-ayunkan pantatnya naik turun.
Aku  memeluk punggung Cenit, mengulum dan mengunyah susunya yang kenyal.  Cewek itu mendengus-dengus ketika putting susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita  enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas. Aku setuju, dia  sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay, yang  mengocok-ngocok dari atas….
Cenit  melepas pelukannya dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di  dadaku mengangkang lebar menampakkan memeknya yang tercukur rapi.  Gundukan dagingnya putih mulus dan kemerahan, bibir kemaluannya tebal  dan dipenuhi cairan kental dan hangat.
Ia  memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku. Kemudian mulai menekan  ke arah mukaku. “Ahh… ayo Kak! Aku udah gak tahan lagi nih.”
Sambil  meremas pinggang dan pantatnya aku pun beraksi. Mengganyang habis kue  pie lembut dan basah itu. Cenit segera merintih-rintih ingin segera  melepas nikmat. Sementar di belakangnya Rinay tiba-tiba mengempot dan  menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke depan, menimpa punggung Cenit  yang sedang menekan mukaku.
Wajahku  semakin tertekan oleh gumpalan memek Cenit, sementara pahanya menggepit  kedua pipiku dengan kuatnya. Akkkh… aku hampir tidak bisa bernapas.  Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, dan… aku sesak nafas!
Terdengar  suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang dirasuki  kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari melepaskan  cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh cairan memek  Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua  tubuh cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk  berbarengan ke tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan  sekaligus, montok-montok lagi.
Seperti  menyadari hal itu, Cenit dan Rinay pun bangkit, perlahan Cenit turun  dari ranjang, sementara Rinay pun perlahan mengangkat pahanya, kedua  tangan bertumpu pada dadaku.
Saat  itulah kemaluanku keluar dari liang sanggamanya, cleep.. terdengar  seperti bunyi plastik lengket yang sedang dibuka. Tampak kemaluanku  masih menegang dan basah bergelimang cairan memek Rinay.
Aku  terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa, karena aku belum lagi  mencapai puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan permainnya, ketika  itulah tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat kepada Rinay dan  Cenit yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika  ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap  kejantananku yang masih berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat  bermandikan cairan kemaluan Rinay.
“Kasihkan  sama Liani, Kak!” kata Cenit sambil menyempalkan susunya yang montok  itu ke balik beha. Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi  mendengar lolongan Cenit dan Rinay yang berbarengan menahan geli dan  enak. Aku tak tahu apakah dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik  nikmat lagi?
Tampaknya  iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat dan putih  mulus. Sementara Rinay dan Cenit bergegas keluar kamar, meninggalkan  kami berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh Liasni menusuk  hidungku. Gadis ini baru selesai mandi.
Liani  naik ke ranjang bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya  yang, ya ampun, ternyata sudah bengkak merekah merah dan basah pula.  Tapi siapa tahan menahan tubuhnya yang tinggi montok itu setelah tadi  ditindih oleh dua gadis montok sekaligus.
Aku  bangkit duduk, mendorong sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget.  Tapi dia menurut. Kemudian kusuruh ia berdiri dan … ini dia aku ingin  merasakan sesuatu yang lain.
Kusuruh  ia berdiri membelakangiku dan menumpukan tangannya di dipan. Posisinya  sekarang menungging di depanku, Liani mengerti, ia mengangkat pantatnya  lagi, dari belakang disela-sela bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya  membelah. Cairan kental menitik-nitik banyak sekali.
Meski  nafasnya ditahan, aku tahu gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat.  Tampak dari buah dadanya yang menggelantung itu bergetar-getar menahan  dentaman jantungnya yang meningkat dahsyat.
Aku  ingin masuk dari belakang dan kemaluan Liani sudah siap untuk kutusuk  dari arah itu. Liani semakin menunggit menampakkan bongkahan pantat dan  memek yang merekah. Aku maju menyorongkan kejantananku ke arah belahan  nikmat itu. Creepp.. kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras  memasuki liang senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani  cukup menahan gerakananku.
Egghh..  aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke depan. Akhirnya… masuk  juga. Oh, rasanya seperti dipilin-pilin. Aku menekan lagi… kemaluan  kami semakin berjalin, tapi bongkahan pantat Liani seolah menahan  gerakanku sehingga aku harus menekan agak lebih kuat.
“Emhh….” rintih Liani tertahan. “Tekan , Bang…. Emmghhh”
Aku  bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku  rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih  buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat  kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis  itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi  agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh  kami semakin berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun  menekan dan menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak  sulit main dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami  menikmati permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan  tubuhku.
Ketika  sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh Rinay  masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju ke  ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami  tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan ke  depan sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah begitu  menyatu erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang dan  basah oleh keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat,  semakin lama semakin hebat.
“Aghhh…hhhh”  aku menggeram menahan rasa. Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat  menyerang kemaluanku. Liani merintih tak kalah dahsyat… bahkan lebih  hebat dari erangan Cenit dan Rinay berbarengan.
“Bang… agh! Enak banget,…oh Aku gak tahan lagi!”
Samar  kulihat Rinay mengenakan celana dalamnya…. Ketika itu pula aku dan  Liani saling menekan hebat… menahannya dan merasakan detik-detik penuh  kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat bercucuran dari  sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan … srrr….. keluar banjir  yang hebat. Tubuhnya bergetar menahan rasa geli yang luar biasa. Aku pun  menekan semakin dalam.
Mmhhh…  berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman memek Liani.  Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan menggenggam  kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas nikmat di pagi nan cerah itu.
Rinay  mendehem kecil ketika kami menyudahi permainan itu dengan rasa puas.  Liani menjatuhkan tubuhnya yang basah oleh titik keringat di dipan,  menelentang dengan nafas masih terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak  membengkak, merah dan berkilat penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam  keluar dari kamar, di dekat pintu ia menyibakkan rambut ikalnya,  menjeling ke arahku, setelah itu ia pun berlalu.
Tags:cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas