cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas,  www.segi3.com    
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
Cerita Sex Bonus Foto Bugil - Dokter Sandra yang Cantik - San…  hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya,  aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana  diangkat.
“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Cie…  illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar  tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup.
Malam  ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit  Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam  begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti  baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke  bagian mana para pasien yang perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa  ditangani langsung di UGD, jadi tidak perlu merepotkan dokter bangsal.  dr. Sandra sendiri harus aku akui dia cukup terampil dan pandai juga,  masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku, tidak terlalu  tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih dengan  rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang seakan  memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai yaitu ketus  dan judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang  sering ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai  sekarang dia masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini dia  lagi punya hubungan khusus dengan dr. Anton tapi aku juga tidak pasti.
Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.
Sampe  di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup  terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana,  sempat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum  sempat kulihat lebih jelas ketika dr. Sandra menyongsongku, “Fran,  pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru setengah  jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya),  gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang diberikan olehnya.
“San,  elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang  diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu,  sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi  langkahku sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga  nih.
Saat  kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus  dan yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya  aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan  kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.
“Siapa  nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status  untuk memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.
“Begini  Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk  mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena  yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi  pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan  sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 - 4 hari setelah  itu jari ini akan membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus  dibuang juga, jadi dikerjakan 2 kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya  butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil akhir yang lebih baik, saya akan  berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya dan pada  penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya rapih dan  tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.
Kira  - kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan  tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr.  Sandra untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan  medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan  peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD.
“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak.
Entah  kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas  sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar  terutama dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku  kerja itu. Untung Sandra mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat  tanggap dan berulang kali dia menyeka keringatku. Huh… aku suka sekali  waktu dia menyeka keringatku, soalnya wajahku dan wajahnya begitu dekat  sehingga aku juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu menggoda,  lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke atas sehingga tampak  lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu  halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.
Setengah  jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka  yang kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu kulepaskan sarung tangan  sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera  masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan  dari tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang  cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada toilet, lebih  baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya lebih  bersih.
Saat  kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar  jeritan kecil halus dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi  tubuh bagian atasnya dengan kaos yang dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku  habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain  elu buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
“Ya,  udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik  pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.
Ketika  aku sampai di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk dan… ya ampun….  pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya,  “San, pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah  muda segera menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan  keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan  segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal  leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos yang  dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan terasa agak lembab.  Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk menggantinya dengan  yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.
Perlahan  kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus,  halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di  pundak dan punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu  halus dan kusapu dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya  yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya  ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit mengejang  kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke siku dan dengan sedikit  tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang secara otomatis  menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari belakang  pundaknya itu.
Kulihat  dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang  dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna  merah dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali  urat lehernya dan ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya  pun kurasakan semakin lemas oleh karena semakin berat aku menahannya.
Dengan  tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada  dan perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan  nikmat terhias di senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak  menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan  tangan kiri menyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap  lembut alis matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus  turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung liang telinganya.
Senyum  tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus  disertai terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan  bibirku sendiri ke bibirnya dan segera kami saling berpagutan penuh  nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari lidahnya untuk  saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke langit-langit mulutnya,  sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher dan  terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah  dan kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh kali putaran  dan putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke  dagunya. Sandra memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya  dengan lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik  tangannya yang kiri yang masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan  jelas kedua puting susunya masih berwarna merah dadu tapi yang kiri  masih tenggelam dalam gundukan bukit. Feeling-ku, belum pernah ada yang  menyentuh itu sebelumnya.
Kujilat  tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan  yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya  dengan malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di  gigi bagian atas, “Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi dan  kali ini tangannya juga mulai aktif memberikan perlawanan dengan  mengusap rambut dan punggungku. Sambil terus memainkan kedua buah  payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru turun ke bawah  melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana  panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet  celana dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu  yang sedikit lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak  kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area  pinggulnya dan segera kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…”  pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat  dan pinggulnya.
Segera  kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan  dan kiri dan, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan  artinya Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia  memang memberikan kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam  hanya-hanya kadang terbuka. Kutarik restleting celananya dan kutarik  celana itu turun. Mudah, oleh karena Sandra memang menginginkannya juga,  sehingga gerakan yang dilakukannya sangat membantu. Tungkainya sangat  proporsional, kencang, putih mulus, tentu dia merawatnya dengan baik  juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya, kalau tidak  salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha  bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki  dan secara tak terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu  dan tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang  masih memburu.
cerita sex,cerita dewasa,cerita mesum,cerita ngentot, ngentot artis, cerita bokep, Cerita panas
Kemudian  ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu ia  mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif  menarik retsleting celanaku dan menariknya lepas. Langsung saja aku  berdiri dan melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia  rebah kembali dan kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut  mengimbangi dengan mengusap rambutku, ketika aku sampai di  selangkangannya kulihat ia memakai celana berwarna dadu dan terlihat  belahan tengahnya yang sedikit cekung sementara pinggirnya menonjol  keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda basah di tengahnya  tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip keluar dari  balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya dan  kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami  sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku.  Sementara Sandra sudah mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih  tertutup rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan  tampak sebuah lubang kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh  semacam daging yang berwarna pucat demikian juga dindingnya tampak  berwarna pucat walau lebih merah dibandingkan dengan bagian tengahnya.  Gila, rupanya masih perawan.
Tak  lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu  oleh karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya  untuk keluar dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam.  Baru saat itu kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan  sedikit tekanan. “Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan.  Sementara lidahku mencoba untuk membersihkannya namun banjir itu datang  tak tertahankan. Aku kembali naik dan menindih tubuh Sandra, sementara  kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku sudah tidak tahan lagi  kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal itu dengan  kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.
“Fran…  ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan  ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan  kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya  melejit ke atas oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua  kali masih gagal juga namun yang ketiga rasanya aku berhasil ketika  tangan Sandra tiba-tiba memegang erat kedua pergelangan tanganku dengan  erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan bibir bawah yang ia gigit  sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai memasuki liang  yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh batang  kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Sandra pun  sudah melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak.  “Tunggu”, pintanya ketika aku ingin bergerak.
Beberapa  saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra  pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih  minimal, sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir  keringat mulai tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin  mempesona dan gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan  Sandra pun mulai dapat mengimbanginya.
Makin  lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya  diletakkan di dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan  punggungku. “Yach… ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian  aku makin merasakan liang senggamanya makin sempit dan terasa makin  menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin liar. Tangannya sudah meremas  bantal dan menarik kain sprei, sementara keringatku mulai menetes  membasahi tubuhnya namun yang kunikmati saat ini adalah kenikmatan yang  makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama ini  melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Sandra  kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan  dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian..  “Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan  nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”,  memberikannya kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa  ada semprotan kuat di dalam sana dan memberikan rasa hangat yang  mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam tiada berujung.  Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih kurasakan,  demikian juga tubuhku masih kaku.
Sesaat  kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan  kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya  nafas agar beban tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku  menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir  mungilnya dan tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami  berdua.
“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya.
“Aku…  gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam  sejenak. “Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Sandra  mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San,  thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap  kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan  batang kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.
Tags: